Assalamu'alaikum wr, wb...
ANCAMAN BERGOSIP DALAM ISLAM
Kode Etik Jurnalistik Bab II Pasal 6 menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.Karya jurnalistik yang cenderung dapat merugikan nama seseorang atau dapat menyinggung perasaan orang lain, misalnya ghibah atau menggunjing. Menggunjing, dalam praktik, tidak hanya terbatas dengan menggunakan lisan. Menggunjing dengan lisan diharamkan karena mengandung unsur ‘memahamkan’ orang tentang kekurangan orang lain. Karena itu, ghibah bisa berupa ucapan, isyarat, tulisan, gerakan, dan setiap perbuatan yang bisa diketahui maksudnya. [Ittihaasu As-Saadah Al Muttaqiin bii Syarhi Ihya Ulumuddin, Muhammad bin Muhammad Al Husaini Az Zabidi, jilid 7, hal. 541]Bahaya GhibahRasulullah shalallahu’alaihi wassalam pernah bertanya kepada para sahabatnya,
Allah subhanahu wa ta’ala memberi perumpamaan orang yang menggunjing ibarat memakan daging saudaranya yang sudah mati. Allah berfirman,
Dalam hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
Ghibah Yang DiperbolehkanBeberapa alasan dan tuntutan membuat sebagian kasus ghibah tidak diharamkan, dengan batasan-batasan tertentu. Para ulama berbeda pendapat tentang macam dan jumlahnya. Di antara ulama yang menjelaskan hal ini adalah Al Ghazali dalam magnomopus-nya, Ihya Ulumiddin, dan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim. Imam Nawawi menyebutkan 6 (enam) bentuk ghibah yang diperbolehkan, secara ringkasnya:
Dalam pemberitaan media massa, menyebutkan kekurangan seseorang atau kejahatannya, seperti perilaku korupsi, penipuan, pencurian, perampokan, pembunuhan, dan lain sebagainya, pada dasarnya adalah perbuatan haram karena itu merupakan ghibah. Namun pada sebagian kasus hukum itu dikecualikan, yaitu bila terdapat salah satu alasan atau lebih beberapa poin pengecualian di atas. Misalnya, pemberitaan itu dengan niat melakukan amar makruf nahi munkar, mengarahkan pelaku maksiat untuk kembali melakukan ketaatan, mengingatkan masyarakat dari perbuatan buruk, misalnya dari bahaya narkoba yang telah melibatkan banyak orang, untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hati terhadap seseorang karena ia mengajarkan aliran sesat, mengajarkan paham yang bertentangan dengan syariat Islam, atau mengancam keamanan negara, merencanakan makar, pemberontakan, spionase, dan sebagainya.Namun perlu diperhatikan, bahwa menebut kekurangan dan kesalahan orang itu bukan dengan tujuan menghina atau melecehkannya. Tapi tidak lain sebagai bagian dari kegiatan amar ma’ruf nahi munkar dan dalam hal ini, boleh menyebutkan kesalahan yang ingin diubah saja, bukan kekurangannya yang lain.Prinsip-prinsip (Hal-hal) yang Harus Dilakukan dalam ‘Kebolehan Ghibah’Dalam kesopanan umum, sewajarnya tidak ada pengecualian. Hal publik tidak ada eksepsi. Namun kaidah fikih Islam menyatakan, “ad dlaruuratu tubiihu al mahdzuuraat”. Kondisi darurat (dengan definisi dan batasan tertentu) bisa memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang. Karena itulah terdapat pengecualian hukum dalam beberapa kasus syariat. Namun demikian, tetap perlu dicegah secara preventif, adanya ‘pasal-pasal karet syariat’ yang multitafsir, yang rentan dimanfaatkan dalam penerapan exception-exception (pengecualian hukum) tersebut. Karena itu, dalam penerapan pengecualian ghibah ini, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
[Hasha-id Al Alsun, Husen Al ‘Uwaisyah, hal. 74]Ust. Faris Khairul Anam LC.Sumber : http://pusatummat.wordpress.com/2010/07/30/ancaman-bergosip-dalam-islam/
“Apakah kalian tahu apa ghibah itu?”. Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih tahu”. Lalu dijelaskan oleh nabi, “Ghibah adalah menyebut sesuatu yang ada pada saudaramu, yang bisa membuat ia tidak suka”, seorang sahabat bertanya, “Bagaimana kalau yang aku sebut memang ada benar dalam saudaraku?”. Nabi menjawab, “Kalau memang ada, berarti kau telah menggunjingnya. Kalau tidak ada berarti kau telah memfitnahnya.” [Shahih Muslim, pembahasan tentang Kebaikan, Hubungan Baik, dan Adab, Bab Keharaman Ghibah, jilid 8, hal. 21]
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah orang seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al Hujurat: 12].
“Setiap muslim haram atas muslim lain dalam darah, harta, dan kehormatannya”.Diriwayatkan dari Jabir radhiallahu’anhu dan Sa’id radhiallahu’anhu
“Hindarilah oleh kalian perbuatan ghibah. Karena ghibah lebih besar dosanya daripada zina. Seseorang terkadang berzina kemudian bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala dan diterima taubatnya oleh Allah. Sedang orang yang berbuat ghibah, dia tidak akan diampuni sampai orang yang dia ghibah-i memaafkannya”.[Ihya Ulumiddin, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, jilid 4, hal 411]
- Jika seseorang merasa terzalimi. Boleh baginya mengadukan kezaliman yang dia terima, kepada aparat atau hakim, atau selainnya, yang sekiranya mempunyai wewenang atau kemampuan untuk mencegah orang yang menzaliminya itu.
- Untuk meminta bantuan atau merubah kemungkaran, dan mengarahkan pelaku maksiat untuk kembali berbuat benar. Misalkan dengan mengatakan kepada orang yang dianggap mampu mencegah kemungkaran tersebut, “Seseorang melakukan perbuatan ini, tolong Anda cegah!”
- Untuk meminta fatwa (nasihat). Misalnya dengan mengatakan, “Ayahku, atau saudaraku, menzalimi aku. Bagaimana caraku untuk terbebas dari perbuatannya yang zalim?” dan sebagainya. Hal ini diperbolehkan sesuai kebutuhan, berdasarkan hadist Hindun yang melaporkan suaminya kepada Nabi Muhammada shalallahu’alaihi wassalam dengan mengatakan, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang syahih (bakhil)”.
- Untuk mengingatkan umat Islam dari perbuatan buruk. Di antara contoh kasusnya adalah jarh (menilai negatif) seorang periwayat hadist atau para saksi demi kebenaran dan tegaknya keadilan, dan sebagainya. Ini diperbolehkan sesuai ijma (konsesus) ulama. Bahkan hukumnya wajib, demi menjaga kebenaran syariat. Bukan dengan tujuan menghina atau melecehkan seseorang.
- Seseorang melakukan kefasikan atau perbuatan bid’ah secara terang-terangan. Seperti minum-minuman keras atau melakukan perbuatan bathil yang bertentangan dengan syariat Islam secara terang-terangan. Dalam hal ini boleh menyebutkan kejelekannya berupa kefasikan atau kebathilan tertentu saja, bukan sifatnya yang lain, kecuali dengan sebab yang lain lagi.
- “Mengenalkan” seseorang. Misalkan seseorang dikenal mempunyai julukan tertentu, seperti ‘pendek’, ‘si hitam’, ‘yang buta’, dan sebagainya. Boleh menyebut julukan itu demi mengenalkannya pada seseorang, bukan dengan tujuan mengejek atau mengurangi harga dirinya. Jika mungkin dikenalkan dengan sifat-sifat tersebut, maka lebih baik mengenalkannya dengan sifat yang lain itu. Wallahu’alam. [Syarh Shahih Muslim, Imam Abu Zakariyya bin Syaraf An Nawawi, jilid 6, hal. 110]
- Ikhlas dalam niat, semata-mata karena ALLAH, bukan untuk mengejek, menghina atau melecehkan harga diri orang tersebut.
- Semampunya untuk tidak menyebutkan nama (menyebut seseorang secara khusus).
- Menyebutkan yang boleh saja, dan yang benar-benar ada dalam diri orang tersebut. Tidak ‘lepas diri’ untuk berbuat ghibah secara luas, hingga menceritakan kekurangan-kekurangan orang lain semau hatinya.
- Merasa yakin bahwa dengan melakukan ghibah yang boleh itu, tidak akan terjadi dampak negative yang lebih parah.
No comments:
Post a Comment